Seribu Paragraf Cinta

karena pena bisa mengubah dunia...

Name:
Location: Jakarta, DKI, Indonesia

Thursday, April 27, 2006

Pride to My Little Brothers

My Mother’s children altogether are men. I am the oldest, and the rest, my little brothers are now studying in SD and SMA. When I’m go home to my village (pulang kampung) two weeks ago, I got a very good and amazing news from my mother.

The first news was seem ordinary, my little brother who sits in SMA (his nickname is Aas) was sent to Semarang, deputizing Kabupaten Purbalingga for participating in Central Java Physics Competition (Lomba Fisika Se-jawa Tengah). Though he doesn’t become the winner (some say he was beated by Taruna Nusantara Student, Magelang) but I think its good enough because he has chosen to deputize Purbalingga sub-province. Well, as I said, I’m not too surprised with this news, because since he was a little-little SD kid, I knew that he is very smart. When he was in SD 6th class, I teach him mathematics items for SMP 2nd class, and he understand it. From long time ago, I have seen his talent in the exact lesson
.



The second news was made me agaze. Its my youngest brother, (his nickname is Dani) he sits in the 5th class SD. Compared to Aas, he seems not too smart like him, he is a kind of quiet (pendiam) kid , and rather mousy (pemalu).

Dani was the 1st winner in mathematics competition se-kecamatan. His teacher said " truly Dani is a smart boy, but he just not very quick in thinking." Ouw, what the teacher said was again really made me gaze.

Dani’s growth from SD 1st class until now was far from my observation. You know I have 7 years live in Jakarta, so I don’t know exactly his ability, his talent and his eager. Different with his oldest brother, Aas. That 1st winner achievement se-kecamatan absolutely made me surprise and happy. Soon I talk to Aas, I give him a request (an instruction, lebih tepatnya) to teach Dani anything that made him interest. "Encourage him to learn and learn... teach him" I told Aas.

So, my little brothers, go fly until you are so high, as high as Kejora evening star. Your brother here was very proud to see all of your achievement... don't be like me, who was minimum in achievement. The only achievement that I get is when I’m in college, PNJ (PNJ? Where is that? I’ve never heard it before…:D )


---- Why Ariabaskara, April 27, 2006----


Thursday, April 06, 2006

Ditangkep Polwan

Di suatu rabu sore, jam pulang kerja di jalan Rasuna Said, dua orang polisi lalu lintas, keduanya perempuan, sedang sibuk mengatur lancarnya arus lalu lintas, tepatnya sebelum belokan Casablanca. Salah seorang polwan yang berdiri di pinggir jalan menunjuk ke arah motorku, menyuruh untuk minggir.
"Selamat sore pak, maaf anda melanggar pasal sekian sekian tentang penggunaan helm proyek. kalau di proyek silahkan pakai helm proyek, tapi di jalanan gunakanlah helm standar." Kira-kira begitu kata-katanya. Temanku yang membonceng (yang memakai helm proyek) segera turun dan "memohon ampun" pada sang polwan.
Ceritanya diawali ketika di kantor tadi, jeng Sri (demikian panggilan kami untuk mbak Sri yang amat sangat njawani pisan) meminta setengah memaksa untuk ikut nebeng sampai buncit, katanya ada sodaranya nunggu di perempatan buncit. Masalahnya, tidak ada helm, yang ada cuma helm proyek. Di kantorku memang banyak helm proyek dan perlengkapan safety lainnya, karena perusahaan tempatku bekerja bergerak dibidang engineering-konstruksi. Banyak tenaga kerja yang dikirim ke field.
Sebenarnya salah seorang teman kantorku sudah mengingatkan, "Kemarin ada orang pake helm proyek ditangkep polisi loh di perempatan" katanya. Tapi berhubung jeng Sri buru-buru, jadi ya sudah, saya bilang, "ga pa pa nanti jalannya di tengah aja biar ga kelihatan polisi"
Jeng Sri masih menjelaskan panjang lebar pada si polwan, yang intinya dia meminta maaf dan mohon diampuni untuk kali ini saja, katanya dia menyesal, sedang terburu-buru, dan dia juga mengaku dia yang patut disalahkan. Lucu juga, aku senyam-senyum sendiri melihatnya menjelaskan pada polantas itu dengan tergopoh-gopoh, dengan dialek Surabaya-nya yang masih kental. Tapi si polwan terlihat tidak terpengaruh oleh rengekannya.
"Saya lihat surat-suratnya dulu" kata si Polwan kepadaku. Nah ini dia masalahnya, pikirku. Selama setahun lebih mengendarai motor, aku muter-muter di Jakarta tanpa SIM. Tapi aku bersikap cool banget. Dengan innocent aku keluarkan dompetku dan menyerahkan STNK padanya. Sang polwan melihatnya dengan seksama, mencocokkan dengan plat nomor sepeda motorku, lalu memeriksa tanggal pajaknya, apakah masih berlaku. Semuanya beres.
"SIM-nya mana?" tanyanya lagi. Sejenak aku diam saja, lalu sambil cengar-cengir aku berkata "nda ada bu..."
"Nah tuh kan... saya juga tadi bilang apa... dasar kamu... terus gimana nih, ntar urusannya saya yang dipelototin sama yang lain tuh, kalo begini kan repot..." si polwan beranjak cerewet.
"Aduh tolong bu... kali iniiiii aja deh bu, saya buru-buru bu..." suara jeng Sri memelas.
"Udah deh, jeng naik bis aja sana... kayaknya ini urusannya bakal lama." Kali ini aku ambil suara. Memang keadaannya sulit, aku sudah merasa tertangkap basah dan kupikir memang sudah sepatutnya yang bersalah harus menerima konsekuensi atas kesalahannya. Aku sudah pasrah, siap menerima apa saja sanksi dari ibu polwan.
Beberapa saat kemudian, masih dalam keadaan situasi gawat itu, seorang temanku sesama motor rider lewat, tapi hanya menyapa kami saja. Ia harus tetap berjalan mengikuti arus lalu lintas yang padat merayap. Tinggal kami bertiga, aku masih tidak tahu tindakan apa yang akan diambil oleh bu polisi yang berbadan cukup besar itu.
"Ya udah, tapi besok ngga boleh lagi ya... sekarang mbak ini naik bis aja. Ngga boleh naik motor pake helm beginian..." kata ibu polwan. Lah, aku tersentak kaget ketika dengan ringannya ia mengembalikan STNK motorku, artinya STNK itu tidak ditahan, aku tidak di tilang, dan boleh pergi. Alhamdulillah... aku tidak dapat lagi menghitung kemurahan Allah di saat-saat seperti ini. Sungguh tidak kusangka hal ini terjadi. Mungkin ini karena doa tulus dari sahabat-sahabatku, atau orang tuaku. Mungkin Allah juga ingin kembali menunjukkan padaku, betapa Dia maha pemurah kepada hamba-hambaNya.
Bu polwan kembali sibuk mengatur lalu lintas. Sementara aku bersiap-siap melanjutkan perjalanan, kuberi kode pada jeng Sri bahwa aku menunggu di ujung sana (sambil menunjuk), tempat yang tak lagi terlihat oleh polantas itu, lalu aku ucapkan terima kasih banyak pada bu polisi. Setelah beberapa saat menunggu di tempat yang "aman," jeng Sri tiba dengan sedikit terengah karena berlari kecil. Kuberikan helm proyek "terlarang" itu padanya, kami tertawa bersama. "Polwannya baik banget jeng..." kataku. Mungkin bu polwan itu ngga tega sama aku, apalagi setelah tadi aku berikan senyum manis padanya.
Jakarta, 06apr06