Episode Cinta Tanjung Perak
Ditempatkan di sebuah proyek merupakan pengalaman pertamaku yang sangat berkesan. begitu banyak hal baru yang kupelajari, banyak hikmah atas berbagai kejadian yang bisa kuambil, juga kata-kata bijaksana dari orang-orang disekelilingku yang semuanya sudah lebih lama hidup di dunia ini dibandingkan diriku, alias lebih tua. Ada perbedaan suhu, aroma, dan warna perbincangan antara diriku dengan mereka yang sudah berkeluarga. Biasanya, dengan orang-orang yang sudah lama berkeluarga itu, pertanyaanku akan berkisar dan terhenti pada "tinggal dimana, anaknya berapa, sudah berapa tahun..."
Berbeda dengan percakapan antar mereka yang sudah sama-sama merasakan manis pahitnya membina rumah tangga. Selalu ada saja bahan percakapan yang saling menimpali sambung-menyambung, tiada habis-habis seperti rentetan gerbong-gerbong kereta api yang sangat panjang. Ketika berbincang masalah keluarga, mereka menemukan teman berbincang yang sangat mengerti bagaimana rasanya karena iapun mengalami hal yang sama. Seperti ada aura yang melingkari sekeliling mereka saat mereka bertemu, memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang itu sudah berada pada tahap yang lebih tinggi dari mereka-mereka yang masih lajang. Entahlah, aku memang belum menginjak masa itu. Namun aku bisa membayangkan bagaimana enak dan tidak enaknya.
Di sebuah perjalanan pagi hari, mentari di Surabaya bersinar teramat cerah dan indah, menyilaukan mataku lewat kaca jendela mobil yang kami naiki bertujuh. Di sebuah persimpangan tampak patung besar buaya dan ikan hiu yang konon berkaitan dengan sejarah nama kota Surabaya yaitu dari sura yang berarti ikan sura dan baya yang berarti buaya. Aku tidak ingin membahas masalah sura dan buaya, melainkan percakapan kami di mobil itu.
Namanya Pak Tassimin, senior designer pipa berumur empat puluhan yang duduk di depan disamping pak sopir itu, berbicara dengan nada bersemangat. Katanya, dulu mobilnya hilang, kemalingan. Kehilangan mobilnya itu tidak membuatnya merasa sedih. Ia berfikir bahwa mobil itu diambil sama yang punya, yaitu Allah swt. jadi ia merasa tenang-tenang saja. Akan tetapi, lain pak Tasimin, lain pula istrinya.
"istri saya merasa tidak tenang waktu itu, lalu menuruti nasihat orang-orang menggunakan dukun dan sebagainya itu, saya sangat menyesalkan itu..." ceritanya. ia sudah berusaha melarang istrinya, namun istrinya itu seorang yang keras kepala. Dengan sabar beliau mendidik istrinya, menaruhnya di tempat orang tuanya beberapa kali untuk banyak mengikuti pengajian, mengubah sifat-sifatnya. Namun beberapa kali usaha itu dilakukan, beberapa kali pula pak Tasimin kecolongan oleh sifat istrinya yang sangat tidak berkenan buatnya. Terakhir katanya diam-diam istrinya meminjam uang dari bank dengan jaminan sertifikat tanahnya. Lalu, dengan ngotot beliau menebus hutang istrinya itu ke bank. Tak mengapa uangnya habis diberikan ke bank asal sertifikat tanahnya kembali.
Beliau juga bercerita, kalau meminjamkan uang ke teman atau saudara-saudaranya, ia tak pernah mengharapkan pembayaran pengembaliannya. Kalau yang dipinjami itu bisa mengembalikan ya alhamdulillah, tapi kalau tidak ya dia mengikhlaskannya. Namun untuk hidupnya sendiri, sebisa mungkin dan sejauh mungkin menghindari berhutang. Menurut saya orang yang seperti itu akan sangat nyaman hidupnya, penuh syukur atas rizki yang ia terima dari Allah. Sangat berbeda dengan istrinya. Pernah juga ia sempat ingin meninggalkan istrinya dan menikah dengan orang lain, tetapi kasih sayangnya pada anak-anaknya (yang katanya sikapnya beda saat ia memperkenalkan calon istri barunya) membuatnya bertahan pada keluarganya. Sungguh, aku terkesan dengan kisah hidupnya.
"istri saya ya begitu orangnya... makanya kamu... " beliau berkata seperti sambil mikir.
"itu siapa... yang belum keluarga... wahyu... " aku tersentak dari lamunan mendengar namaku disebut.
"yes pak..." jawabku sekenanya.
"nanti ada masa-masanya kamu harus sabar ketika diuji..." lanjutnya.
"oh iya... betul pak" jawabku sotoy.
Tapi memang betul, semenjak itu sepertinya aku punya tekad baru. Seperti apa sifat istri saya nanti, saya tidak tahu. Kalau sifatnya lebih bagus dari saya, alhamdulillah, semoga saya bisa belajar darinya. Tapi jika tidak, saya harus mendidiknya, karena posisi saya adalah kepala keluarga. Tekad baru saya adalah mendidik istri. Mungkin ia bisa cepat berubah, bisa juga tidak. Mungkin setelah satu tahun belum bisa berubah menjadi lebih baik, aku harus tetap mendidiknya dengan sabar. Mungkin juga lima tahun baru bisa berubah, akupun harus tetap mendidik istri dengan hati lapang dan perasaan ringan. Mungkin juga hingga kami dijemput ajal, ia tidak berubah, aku pun tetap harus menjalankan fungsiku sebagai pendidik. Hidup ini tidak lama, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu hidup ini hanya untuk kepentingan menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Sungguh, hidup ini sebentar.
Jadilah di dunia, bagai orang asing
atau pengembara yang tidak lama
Bila pagi datang jangan tunggu sore
Bila sore datang jangan tunggu pagi
Berbekallah yang banyak
untuk segera pulang
bertemu dengan Allah
di alam sana
(izzatul islam)
Berbeda dengan percakapan antar mereka yang sudah sama-sama merasakan manis pahitnya membina rumah tangga. Selalu ada saja bahan percakapan yang saling menimpali sambung-menyambung, tiada habis-habis seperti rentetan gerbong-gerbong kereta api yang sangat panjang. Ketika berbincang masalah keluarga, mereka menemukan teman berbincang yang sangat mengerti bagaimana rasanya karena iapun mengalami hal yang sama. Seperti ada aura yang melingkari sekeliling mereka saat mereka bertemu, memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang itu sudah berada pada tahap yang lebih tinggi dari mereka-mereka yang masih lajang. Entahlah, aku memang belum menginjak masa itu. Namun aku bisa membayangkan bagaimana enak dan tidak enaknya.
Di sebuah perjalanan pagi hari, mentari di Surabaya bersinar teramat cerah dan indah, menyilaukan mataku lewat kaca jendela mobil yang kami naiki bertujuh. Di sebuah persimpangan tampak patung besar buaya dan ikan hiu yang konon berkaitan dengan sejarah nama kota Surabaya yaitu dari sura yang berarti ikan sura dan baya yang berarti buaya. Aku tidak ingin membahas masalah sura dan buaya, melainkan percakapan kami di mobil itu.
Namanya Pak Tassimin, senior designer pipa berumur empat puluhan yang duduk di depan disamping pak sopir itu, berbicara dengan nada bersemangat. Katanya, dulu mobilnya hilang, kemalingan. Kehilangan mobilnya itu tidak membuatnya merasa sedih. Ia berfikir bahwa mobil itu diambil sama yang punya, yaitu Allah swt. jadi ia merasa tenang-tenang saja. Akan tetapi, lain pak Tasimin, lain pula istrinya.
"istri saya merasa tidak tenang waktu itu, lalu menuruti nasihat orang-orang menggunakan dukun dan sebagainya itu, saya sangat menyesalkan itu..." ceritanya. ia sudah berusaha melarang istrinya, namun istrinya itu seorang yang keras kepala. Dengan sabar beliau mendidik istrinya, menaruhnya di tempat orang tuanya beberapa kali untuk banyak mengikuti pengajian, mengubah sifat-sifatnya. Namun beberapa kali usaha itu dilakukan, beberapa kali pula pak Tasimin kecolongan oleh sifat istrinya yang sangat tidak berkenan buatnya. Terakhir katanya diam-diam istrinya meminjam uang dari bank dengan jaminan sertifikat tanahnya. Lalu, dengan ngotot beliau menebus hutang istrinya itu ke bank. Tak mengapa uangnya habis diberikan ke bank asal sertifikat tanahnya kembali.
Beliau juga bercerita, kalau meminjamkan uang ke teman atau saudara-saudaranya, ia tak pernah mengharapkan pembayaran pengembaliannya. Kalau yang dipinjami itu bisa mengembalikan ya alhamdulillah, tapi kalau tidak ya dia mengikhlaskannya. Namun untuk hidupnya sendiri, sebisa mungkin dan sejauh mungkin menghindari berhutang. Menurut saya orang yang seperti itu akan sangat nyaman hidupnya, penuh syukur atas rizki yang ia terima dari Allah. Sangat berbeda dengan istrinya. Pernah juga ia sempat ingin meninggalkan istrinya dan menikah dengan orang lain, tetapi kasih sayangnya pada anak-anaknya (yang katanya sikapnya beda saat ia memperkenalkan calon istri barunya) membuatnya bertahan pada keluarganya. Sungguh, aku terkesan dengan kisah hidupnya.
"istri saya ya begitu orangnya... makanya kamu... " beliau berkata seperti sambil mikir.
"itu siapa... yang belum keluarga... wahyu... " aku tersentak dari lamunan mendengar namaku disebut.
"yes pak..." jawabku sekenanya.
"nanti ada masa-masanya kamu harus sabar ketika diuji..." lanjutnya.
"oh iya... betul pak" jawabku sotoy.
Tapi memang betul, semenjak itu sepertinya aku punya tekad baru. Seperti apa sifat istri saya nanti, saya tidak tahu. Kalau sifatnya lebih bagus dari saya, alhamdulillah, semoga saya bisa belajar darinya. Tapi jika tidak, saya harus mendidiknya, karena posisi saya adalah kepala keluarga. Tekad baru saya adalah mendidik istri. Mungkin ia bisa cepat berubah, bisa juga tidak. Mungkin setelah satu tahun belum bisa berubah menjadi lebih baik, aku harus tetap mendidiknya dengan sabar. Mungkin juga lima tahun baru bisa berubah, akupun harus tetap mendidik istri dengan hati lapang dan perasaan ringan. Mungkin juga hingga kami dijemput ajal, ia tidak berubah, aku pun tetap harus menjalankan fungsiku sebagai pendidik. Hidup ini tidak lama, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu hidup ini hanya untuk kepentingan menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Sungguh, hidup ini sebentar.
Jadilah di dunia, bagai orang asing
atau pengembara yang tidak lama
Bila pagi datang jangan tunggu sore
Bila sore datang jangan tunggu pagi
Berbekallah yang banyak
untuk segera pulang
bertemu dengan Allah
di alam sana
(izzatul islam)
15 Comments:
wah, wahyu, tulisanmu sekarang sudah agak berbeda yah ;)) ingin menjadi pendidik yah hihihi.. semoga nanti dimudahkan dan dilancarkan yah kalo udah jadi suami. sing sabar.
AJCc2P The best blog you have!
HRJEIX Good job!
Hello all!
Please write anything else!
Thanks to author.
Good job!
Wonderful blog.
Good job!
Wonderful blog.
actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.
Thanks to author.
vOgmaC write more, thanks.
Magnific!
Good job!
Post a Comment
<< Home