Seribu Paragraf Cinta

karena pena bisa mengubah dunia...

Name:
Location: Jakarta, DKI, Indonesia

Thursday, March 09, 2006

Cermin Impian

Cermin Impian

Wahyu Ariabaskara

Di tengah gulita malam, saat semua orang tertidur, Harry Potter mengendap-endap dibalik jubah invisible cloak-nya, menyusuri koridor-koridor sekolah Hogwarts, hingga menemukan sebuah ruangan yang belum pernah ia lihat. Di dalam ruangan itu, Harry menemukan sebuah cermin. Betapa terkejutnya ia ketika memandang ke dalam cermin itu, bayangannya bukan hanya ada dirinya, melainkan bersama ayah-ibunya yang telah meninggal sejak ia kecil. Dalam cermin, kedua orang tuanya tersenyum di samping kiri-kanannya, memegang lembut pundak Harry.

Harry membangunkan teman baiknya, Ronald Weasly, untuk melihat benda ajaib itu, “Lihat Ron, ayah ibuku ada dalam cermin ini”

Alih-alih melihat kedua orang tua Harry, Ron sangat terkejut karena dalam cermin ia melihat bayangan dirinya sendiri mengenakan seragam quidditch yang begitu bagus dan sangat ia inginkan sejak dulu.

Harry masih terus tersenyum memandangi cermin itu saat Ron sudah kembali tidur. Berjam-jam ia habiskan untuk melihat bayangan dirinya bersama ayah ibu tercintanya dalam cermin. Malam telah beranjak amat larut, dan Harry masih terdiam disana.

“Begitulah sifat cermin impian ini” suara berat namun lembut itu menghampiri Harry. Kepala sekolah Hogwart, profesor Albus Dumbledore, tanpa ia sadari telah berada disampingnya.

“Itu cermin impian. Siapa yang memandangnya, akan mendapati bayangan dirinya sesuai dengan impian terbesar mereka. Kau melihat kedua orangtuamu, karena bertemu mereka adalah keinginanmu yang terdalam”

“Namun sayangnya, cermin ini lebih banyak memberi pengaruh buruk daripada pengaruh baik, Harry. Karena itulah cermin ini disembunyikan” Dengan sabar Albus Dumbledore menasihati Harry, layaknya nasihat seorang kakek pada cucunya.

Cerita diatas hanya sepenggal kisah yang terjadi dalam novel fiksi Harry Potter and The Sorcerers Stone karya JK Rowling. Dari segi tema cerita, novel ini memang sangat berbau syirik, karena mengetengahkan cerita tentang dunia sihir. Namun, di satu sisi kita perlu iri pada banyaknya pesan moral yang disampaikan.

Setidaknya, dalam sepotong cerita tadi, kitapun bisa mengambil pesan moral yang mendalam. Jika cermin diatas ada di dunia nyata, kira-kira apa yang akan kita lihat dalam cermin itu?

Sebagian besar dari kita mungkin akan melihat diri kita memegang banyak uang, atau mengenakan pakaian terindah, atau bergandeng tangan bersama pujaan hati kita. Yang belum menikah mungkin akan melihat dirinya mengenakan gaun pengantin bersama orang yang dicintainya, yang belum punya anak mungkin akan melihat dirinya menggendong manusia kecil yang lucu dan menggemaskan.

Setiap manusia normal mempunyai keinginan dan impian. Sejauh apa impian itu mempengaruhi seseorang, bergantung pada bagaimana orang itu menyikapi impian tersebut. Harry Potter, dalam cerita tadi, terhanyut dalam impian, keinginan hati terdalamnya untuk bertemu orang tuanya, hingga ia lupa pada keadaan diri, terus memandang cermin dan melupakan kenyataan hidupnya.

Demikian juga kita, mungkin juga bisa terhanyut dalam impian, angan-angan. Yang disayangkan jika angan-angan itu menghabiskan sebagian besar waktu kita, padahal waktu yang terbuang itu bisa kita manfaatkan untuk hal yang lebih berguna. Boleh-boleh saja bermimpi, apalagi jika mimpi itu menjadi cambuk yang memotivasi kita untuk berusaha mewujudkannya.

Impian selayaknya tidak menjadi ukuran kepuasan batin atau kebahagiaan seseorang. Kebanyakan orang bermimpi menjadi sesuatu atau mempunyai sesuatu, tetapi belum bisa bahagia, belum puas jika mimpi itu belum terpenuhi. Itulah mungkin yang dialami Harry dan Ron ketika melihat ke dalam cermin. Simak lagi kata-kata pamungkas Dumbledore pada Harry di malam mereka melihat cermin itu.

“Harry, orang yang paling bahagia, yaitu seseorang yang melihat cermin ini dengan bayangan sebenarnya seperti ia melihat cermin biasa.”

Jakarta, 22feb06.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home